Laman

Tuesday, April 25, 2023

Keterbukaan Diri

 Halo lagi. 


Aku ingin cerita bahwa memutuskan untuk resign dari pekerjaan yang sudah dijalani hampir 3 tahun adalah keputusan terbesar yang ada dalam hidupku hingga tulisan ini aku post. Merupakan pekerjaan formal pertamaku dengan gaji bulanan pertamaku. Banyak pengalaman yang sudah aku dapatkan di instansi ini. Tidak sedikit orang yang dekat denganku untuk bisa aku sebut "Teman Kantor" karena hubungan yang ada di kantor ini cukup rumit. Mungkin terlihat cukup dekat namun sebenarnya tidak sedekat itu. Banyak 'gimmick' dan kepura-puraan di situ namun beruntungnya, aku bisa melalui itu dan terbiasa dengan itu. 

Performaku di awal mulai bekerja cukup hancur. Aku mendapatkan SP (Surat Peringatan) dari atasanku / SPV-ku untuk pertama kalinya pada 3 hari pertama aku mulai melakukan Shifting. Hal ini karena aku yang selalu terlambat masuk karena ada masalah di luar kantor -ya masalah pribadiku. Dari situ aku kehilangan cukup banyak semangat kerjaku. Aku takut karena aku baru mulai bekerja namun aku sudah membuat masalah. Saat itu pun aku juga ditemui 'pertama kali' oleh team leaderku untuk coaching atas kelalaianku. Itu pertama dan terakhir kali aku bertemu TLku. Entah karena alasan apa, aku dilempar ke TL lain yang baru lagi tanpa penjelasan namun tidak mengapa. Aku sudah berniat untuk menjalaninya dengan lebih baik. 

Setelah berjalan 3 bulan di TL baruku ternyata performaku tidak bertambah baik. Aku terlalu mudah terdistraksi oleh hal-hal di luar kerjaanku. Cukup sulit untuk menyeimbangkannya dan sangat menguras semangat dan mentalku. Itu membuatku hampir menyerah. Sewaktu itu, pacarku -yang sekarang adalah mantan- mencoba memotivasiku, namun aku tidak merasa itu motivasi tapi sebuah todongan. Aku juga tidak terlalu mengingat detail kata-katanya. Motivasi yang diberikan padaku tidak membuatku bertambah semangat tapi menambah tekanan batinku. Mulai dari hal ini performaku mulai menurun. 

Setelah berjalan bulan ke 5, aku merasa bahwa aku tidak benar-benar memilki teman di kantorku. teman yang bisa aku ajak berbagi cerita dan 'sambatan'. aku merasa mereka hanya merasa kasihan dan menganggapku sebagai anak kecil saja. Itu membuatku sangat kecewa dan sedih dengan diriku sendiri. Berbagai kesalahan dan turunnya performaku membuatku di-'titeni' oleh TL baruku. Performaku selalu terbawah dan banyak mendapatkan pelanggaran dari QA. Sampai pada akhirnya, TLku tidak pernah menggubris pertanyaanku bahkan tidak melakukan coaching atau memberikan info soal performaku. hanya tiba-tiba aku menerima email bahwa aku baru saja di coaching. Hal itu membuatku sangat frustasi. 

Di luar dari dinamika kantorku, aku juga menghadapi seorang pacar -sekarang mantanku- yang cukup merepotkan (bagiku). Aku tidak menyalahkannya namun saat itu dia terus mendorongku untuk semangat dan terus bekerja namun dirinya tidak memberikan contoh semangat kerja. Dia juga bekerja namun mendapatkan rekan yang toxic. Setiap hari yang kudengarkan hanya keluhannya soal pekerjaannya dan rekannya tersebut hingga akhirnya ia memutuskan berhenti dengan alasan "tidak kuat mentalnya". Sebenarnya aku bertanya-tanya, kenapa generasiku banyak yang mengeluhkan soal mentalnya? Namun di sisi lain orang zaman generasi sebelumku bisa bekerja seperti mereka tidak akan kehilangan apapun (termasuk mentalnya). Sampai akhirnya aku merasakannya sendiri di kantorku. 

Mental memang sangat mempengaruhi performa. Yang aku maksud bukan tipe mental tapi persentase kuantitatif mental tersebut, anggap saja seperti baterai mental. Jika laptop atau handphone yang menjalankan beberapa program secara bersamaan maka daya listrik yang digunakan semakin besar dan semakin cepat terkuras seperti halnya dengan mental yang kumaksud. Banyak hal yang menubruk diriku dan membebani pikiranku dalam 1 waktu. Ada pekerjaan yang memiliki tuntutan yang sangat berat dan menekan dan di sisi lain adanya seorang pacar -sekarang mantan- yang selalu memberikanku tekanan. Itu membuat baterai mentalku seakan bocor dan cepat habis, membuatku sangat frustasi dan hampir kehilangan kendali atas diriku. Beberapa kali aku mencoba untuk cerita, berkali-kali aku melakukannya dengan berbagai pendekatan dalam waktu yang beragam namun tidak ada timbal-balik yang aku terima. Ceritaku tidak benar-benar di"simak" dan di"pahami". Khususnya orang yang saat itu aku anggap sebagai pacarku yang bersedia untuk kubagi cerita harianku namun yang kudapatkan setiap kali aku certia adalah kecewa. 

Dimulai dari saat aku bercerita dia tidak mendengarkan dengan seksama dan memainkan handphonenya, juga setelah aku selesai bercerita respon yang kuterima adalah sindiran atau lebih parahnya adalah "adu nasib". Pada awalnya aku bingung dan membiarkannya, namun semakin lama aku merasa bahwa kenapa malah berakhir negatif. Aku mengerti responnya tidak selalu positif namun responnya juga harus sesuai konteks ceritaku. Jika tidak mengerti bisa tanyakan atau jika tidak berniat mendengarkan ya bilanglah di awal. Sangat kecewa saat itu dan aku menganggap bahwa apakah aku terlalu berlebihan? bukankan kemampuan orang lain juga berbeda?. Entahlah aku tidak tahu. Kenapa aku harus memikirkan orang lain saat aku ingin memikirkan diriku sendiri? Kenapa aku harus berpikir bahwa, orang lain kan punya perasaan dan jika aku cerita bukankan mereka akan ikut stress/ akan marah?. Sekarang aku merasa hal yang kulalukan waktu itu adalah hal TERBODOH dalam hidupku. 

"Orang tidak peduli akan perasaanku jika merka ingin mengutamakan kepentingan mereka"

Kalimat itu yang terpaku sangat dalam di benak dan pikiranku sekarang. Orang-orang hanya ingin mendengar apa yang ingin mereka dengar. Termasuk orang yang kuanggap dekat sekali denganku hingga aku bisa berbagai tiap detik hariku ke dirinya. Tapi itu sudah berlalu, aku sudah memutuskan untuk membagi golongan orang-orang di hidupku dan memberikan beberapa poin ke masing-masing individu seperti orang "A" bisa dipercaya, dia bisa memahami ceritaku dan mendengarkan dengan baik, dia juga berusaha dengan baik untuk mendengarkan. Jika suatu saat "A" tidak sesuai/tidak melakukan poin imajiner yang aku sematkan ke pribadinya, aku akan mencoret poin tersebut (jika terjadi sebanyak 3x). Sehingga jika poin yang hilang adalah "memahami ceritaku dan mendengarkan dengan baik" maka aku tidak akan pernah menceritakan apa yang kualami ke dirinya. Jika kamu yang membaca ini merasa marah dan tidak terima, atau berpikir aku bodoh karena melakukan itu. Silahkan. Jika kamu berpikir aku bodoh, tidak apa karena kamu tidak merasakan apa yang aku rasakan dan kamu juga tidak mau merasakannya kok. 

Kelihatannya aku merasa paling benar, kan? Memang. Namun hal itu tidak berjalan selamanya. Saat ini aku selalu memikirkan jika ada orang yang bercerita denganku akan aku dengarkan dengan baik atau aku akan berusaha menyimak sebaik yang kubisa. Aku tidak tau apa yang mereka rasakan tapi aku bisa membayangkannya dan mau untuk mengimajinasikan point of view-ku di "sepatunya". 

Baterai Mental yang terkuras dengan cepat ini membuat pikiranku tidak berjalan dengan semestinya. Visi yang sudah aku bentuk dengan baik di ingatanku menjadi buram. Aku menjadi orang yang hanya ingin menyelesaikan masalah dengan cara yang 'instant', bukan cepat. Bagiku cepat masih menggunakan pikiran yang masih bersih dan tajam, anggap saja mobil yang melaju cepat. Ia akan berjalan sesuai dengan jalurnya dengan meningkatkan inderanya agar bisa bermanuver dengan baik. Sementara instant itu seperti mobil yang ingin sampai ke tujuan namun menggunakan jalan pintas yang "tidak selalu" benar/baik. Asal sampai saja. 

Memang masalahku akan selesai dengan waktu yang singkat, namun efek samping negatifnya senagat fatal. Beberapa masalahku muncul dan membuat hidupku seperti di hancur leburkan bahkan, aku hampir diusir dari rumah karena kesalahanku tersebut. Hal ini murni karena kebodohan dan keinginanku menyelesaikan hal secara 'instant' tanpa memikirkan dampaknya. Karena masalah itu, aku kehilangan hampir segalanya, kehilangan uang, waktu, pacar dan tenagaku. Aku hampir kehilangan keluarga, kerjaan dan nyawaku di tanganku sendiri. Mungkin jika waktu itu aku tidak sakit demam tinggi, aku sudah merobek nadiku sendiri hingga mati. 

Sejak masalah yang memutar-balikkan hidupku -dan keluargaku- aku lambat laun memiliki skill baru dengan nama yang orang awam sebut "pemikiran pragmatis". Aku berpikir dengan pertimbangan manfaat yang aku dapatkan pada jangka pendek dan jangka panjang baik itu barang ataupun orang. Jika ada barang bahkan orang yang tidak memberiku manfaat maka aku tidak akan pernah melakukan kontak dengannya. Masa bodoh dengan yang orang sebut 'perasaan'. Dalam pikiran baruku, aku menganggap, "Jika dirimu tidak memberiku manfaat dalam bentuk apapun dan memberikanku kerugian maka aku tidak punya urusan denganmu." Itu termasuk ke teman terdekatku juga, jika saat aku meminta tolong ke mereka namun tidak ada respon (penolakan termasuk respon) maka aku tidak akan berurusan dengan mereka lagi. Memang terasa kesepian, namun hal itu adalah hal yang perlu kulalui. Aku sudah tidak peduli dengan janji-janjiku yang dulu pernah aku ucapkan ke siapapun yang aku anggap tidak bermanfaat kecuali ada hutang materiil. Apapun alasannya, nilai ini adalah nilai mutlak bagiku.

Sejak masalah yang kualami itu, aku bisa berpikir lebih jernih dan visiku lebih jelas meskipun dalam jangka pendek karena aku kehilangan visi jangka panjangku, dan aku harus merestart prinsip serta visi hidupku kembali. Percayalah, hal itu sangat amat menyakitkan dan menyedihkan untukku. Kehilangan orang yang disayang (dulunya) itu bukan hal yang remeh. Trauma? hingga saat ini masih aku coba hilangkan dan hidup dengan membawa aib itu. Jika aku berbagi certia ini ke orang lain, respon mereka adalah kecewa dan jijik denganku. 

Setelah fenomena itu aku bisa menyesuaikan diriku kembali secara bertahap. Performa kerjaku mulai kembali dan emosiku mulai lebih stabil serta pikiranku lebih tajam dan peka. Banyak hal yang bisa aku pelajari dari masalahku meskipun ketakutan dan traumanya masih sulit untuk dihilangkan. Hingga saat aku resign, aku merasa sangat bersyukur. Aku bisa mengenal rekan satu timku lebih dekat dan bisa bercanda dengan mereka tanpa rasa kasihan. Aku sudah bisa menikmati gajiku sendiri dan melunasi hutang-hutangku. Aku berhasil bertemu dengan orang-orang baik yang juga melalui hal yang merubah hidupnya juga. Serta aku juga berhasil bertemu dengan pasanganku yang sekarang. 

Pada akhirnya, semua yang aku lalui hingga hari ini menjadi hal yang aku sesali dan aku syukuri secara bersamaan. Ternyata aku sudah berjalan jauh dan bisa bertahan dalam 2 tahun yang menyebalkan itu. Baterai mentalku memang masih rentan dan belum menyimpan energi dengan baik tapi tidak mengapa karena memang itu efek sampingnya. Aku harus melakukan penyesuaian pada sistem pikiranku dan tubuhku sehingga resiko baterai mentalku bocor menjadi lebih ditekan hingga persentase terendah. Pasanganku sekarang membantuku dengan sangat baik dan membuatku menjadi lebih bersemangat. Membuatku untuk merangkai kembeli rencana jangka panjang yang lebih panjang lagi untuk keluarga baruku di masa depan. Semoga hal ini membawaku ke kehidupan yang lebih baik dan tidak mengulangi kesalahan yang sudah berlalu. 

Aku berterimakasih pada Allah SWT yang telah memberikanku berbagai rezeki dan berkahnya serta Rosululloh Muhammad SAW yang memberikan syafaatnya dari lantunan sholawatnya. Terima kasih juga untuk keluarga dan teman-temanku yang baik-baik. Serta dengan Indah, kekasihku yang sangat aku sayangi dan selalu memberikanku dukungan. Aku mohon maaf apabila masih banyak kekurangan dan kejelekan yang menempel di diriku. Semoga aku dapat menjadi pribadi yang terus lebih baik dari sebelumnya. 




Tuesday, May 10, 2022

Quiz

Aku selalu bingung, dalam setiap pemikiran yang ingin kuceritakan kenapa selalu dibuka dengan pertanyaan?

- Apakah kamu pernah merasa kesepian?
- Apakah kamu pernah merasa tidak cukup dalam hidup ini?
- Pernahkah kamu merasa ingin melompati batas hidup dan mati tanpa alasan yang jelas? 
- Pernahkah kamu terfikirkan bahwa orang-orang di sekitarmu itu menakutkan? 
- Pernahkan kamu memikirkan apa itu konsep "menghargai" ? 
- Pernahkan terfikirkan soal konsep "menyayangi"?
- Apa yang akan kamu lakukan saat ada orang mencintaimu?
- Apa yang akan kamu lakukan saat ada orang yang berkata dia mencintaimu?
- Apa yang akan dilakukan orang lain saat kamu mati? 
- Siapa yang akan datang melayat? 
- Siapa yang akan menangis, meratapi, berduka maupun senang saat kamu sudah terbaring tak bernyawa dan dipamerkan di depan khalayak kerabat, teman, keluarga, dan kenalan? 
- Apa yang akan kamu perbuat saat perasaanmu tercabik-cabik oleh sesuatu yang kamu anggap adalah sebuah "kebaikan"
- Kenapa aku tidak bisa menangis?
- Kenapa aku yang salah?
- Kenapa aku ingin mati? 
- Kenapa aku ingin hidup?
- Kalian siapa? 
- Kenapa aku tidak bisa melihat wajah kalian?
- Dimana ekspresi kalian? 
- Siapa orang yang selalu aku lihat disaat aku menutup mata? 
- Siapa yang tersenyum di tepi daun pintu saat gelap itu? 
- Siapa yang selalu berdiri menunduk saat aku terpuruk dan menangis? 
- Apakah itu menakutkan? 
- Apakah itu malaikat? 
- Siapa yang dulu aku lihat di balik jendela rumah sakit saat aku terbaring sakit? 
- Siapa orang itu?
- Suara apa yang aku dengar saat di tengah keramaian? memintaku untuk mengamuk?
- Sosok apa yang selalu aku lihat berdiri di depanku saat aku berkendara?
- Bagaimana aku bisa menjelaskan ke orang lain apa yang aku rasakan? 
- Sebenarnya apa yang aku rasakan? 
- Sebenarnya apa yang aku inginkan? 
- Siapa yang aku harapkan? Aku atau siapa? 
- Apa makanan yang jadi favoritku?
- Apa kesukaanku?
- Apakah aku bebas? 
- Kenapa harus aku? 

Kumohon siapapun, tolong aku!

Wednesday, April 20, 2022

Marah

Apakah kamu sudah pernah melakukan sebuah kesalahan? Kesalahan yang sangat fatal?
Bagaimana perasaanmu, merasa bersalah atau tidak merasa bersalah? atau mungkin tidak mengaku melakukan kesalahan karena kamu menganggap apa yang kamu lakukan adalah tindakan paling benar? 

Aku mau memberikan pendapat -jika ingin komentar, kritik atau menyanggah dipersilahkan- tentang bagaimana sudut pandang soal pertanyaan di atas. 

Mengenai melakukan kesalahan, semua orang pasti sudah pernah melakukan kesalahan dalam bentuk apapun dan pastinya akan merasa sangat menyesali itu, dalam bentuk yang variasi. Tidak perlu menyangkal, cukup setuju saja dan katakan pada dirimu sendiri "Iya, pernah melakukan kesalahan". Kesalahan itu ada tingkatannya juga entah bagaimana merasakannya dari sepele hingga fatal. Mulai dari menjatuhkan barang hingga menjatuhkan martabat keluarga, itu tergantung bagaimana sudut pandangnya untuk menilai tingkatannya. tidak perlu memaksakan diri untuk menilai, semua pasti ada penilaiannya entah di matamu atau mata orang lain. Bukankah yang paling penting apakah kamu bisa bertanggung jawab dengan kesalahanmu atau tidak, dan itulah hal yang paling sulit.

Oke, sekarang ke bagian pertanyaan selanjutnya. Bagaimana perasaanmu? adalah pertanyaan yang harus kamu tanyakan pada dirimu sendiri. Dalam pengalamanku, tingkatan kesalahan yang dinilai oleh orang lain adalah kesalahan yang "Fatal", aku tidak merasa bahwa kesalahan yang kulakukan adalah sebuah kesalahan. Hal ini kupertimbangkan dari awal mula sebelum melakukan kesalahan tersebut. Namun tetap saja, apa yang sudah kulakukan adalah sebuah kesalahan yang tidak bisa dimaafkan. Aku mengakuinya -setelah banyak berkontemplasi- bahwa aku salah.

Mungkin, kamu yang membaca akan merasa bahwa "apa-apaan orang ini, denial sama kesalahannya", "manipulatif" dan sebagainya. Tidak masalah. Aku pun berpikir demikian. Bahkan, aku merasa apa yang aku bahas saat ini adalah perwujudan double standard di kepalaku dan kelabilan mentalku. Tidak perlu di-afirmasi, aku juga tidak perlu afirmasi. Aku hanya ingin berbagi pengalaman soal cara pandang soal "kesalahan" itu. 

Menurutku, apa yang orang lain anggap adalah kesalahan namun bagiku bukan kesalahan karena dilihat dari niat awalnya. Tapi bukan berarti aku tidak menganggap itu bukan kesalahan juga. Ada yang bilang begini: "sebagaimana baiknya niat jika caranya salah maka hasilnya juga sebuah kesalahan," kalimat ini cukup memberikan gambaran besar apa yang aku bahas di atas.

Monday, March 28, 2022

Se-cangkir

Emosi yang sangat dalam, tertampung dalam cangkir kecil dengan ukiran cantik di sekitarnya
Pekat, sangat kental dan banyak
Sengaja tidak dituangkan, tidak dikurangi, dan ditahan begitu saja
Buat apa?

- 28 Maret 2022

Saturday, March 26, 2022

Sebagai teman pendengar seseorang yang tidak pernah bercerita

Bagaimana jika seseorang yang tidak pernah cerita, sebenarnya tidak bisa bercerita? Bukan karena tidak bisa menceritakan, tapi karena tidak bisa mengucapkan ceritanya. Bukan karena tidak mau bercerita, tapi karena tidak tahu bagaimana caranya bercerita.

Selalu diperintahkan untuk "Ceritakan saja yang mengganjal", "Ceritakan saja apa yang ada di kepala", atau "Ceritakan saja yang ingin diceritakan" namun bukan itu masalahnya. adalah trauma, adalah pengalaman yang membuat seseorang tidak bisa mengungkapkan ceritanya, adalah tekanan dari memori yang membuat seseorang tidak tahu bagaimana caranya menceritakannya. Meskipun diminta sehalus mungkin, diperintahkan atau dipaksa cerita itu tidak akan pernah muncul ke permukaan.

Ingatan akan dampak yang akan terjadi, ingatan tentang apa yang diterima setelah cerita. Memang seharusnya tidak perlu dipikirkan tapi setelah banyak dampak yang diberikan, pendekatan apa pun sulit dapat membantu. Khususnya pendekatan yang dilakukan oleh pemberi ingatan buruk tersebut. 

Silahkan menganggap hal tersebut adalah sebuah kesalahan, kebodohan, kecacatan, kelemahan atau bahkan kelainan. Anggapan itu akan malah menambah halangan seseorang untuk tidak bisa menceritakan. 

Saran yang bisa diusulkan hanya, mohon lakukan observasi dahulu. Tanamkan pemahaman pada kepala dan emosi bahwa seseorang tidak bisa bercerita karena tidak tau cara menceritakannya. Jangan tiba-tiba menanyakan dan memberikan petuah karena itu hanya akan membuat seseorang yang tidak bisa cerita tidak yakin dengan dirinya sendiri. Jangan pula "sok tahu" dengan kesulitannya atau tentang posisinya, karena itu akan memberikan pemahaman bahwa anda tidak perlu mendengarkan ceritanya karena sudah paham bahwa sulit bercerita. Aku tahu itu salah, tapi itu adalah hal yang secara subjektif dirasakannya. Pendekatan ini akan memakan waktu yang lama. Kalau anda adalah orang yang terbiasa buru-buru, mohon tidak usah "sok" menanyakan atau berusaha mengerti. Masalah ini bukanlah hal yang dapat diselesaikan begitu saja.

Saat akhirnya cerita bisa dikeluarkan, mohon "Jangan pernah" menyela ceritanya dengan pendapatmu. "Dengarkan" semuanya hingga cerita berakhir, bayangkan ada di posisi yang bercerita dan "Jangan banyak tanya" soal rencananya, keyakinannya maupun soal pendapatnya. Biarkan cerita itu mengalir begitu saja seperti "buang air", setelah selesai "jangan menyundul" ceritanya dengan koreksi, kritik atau pun saran pada ceritanya dan biarkan saja seperti itu untuk sesaat. Biarkan anda dan orang yang bercerita itu mengambil nafas yang sama. Anda dapat memberi respon "baik" setelah nafas menjadi tenang dan "selaras" karena hal ini krusial untuk mengurangi --dan mencegah-- orang yang bercerita tidak merasa telah melakukan kesalahan karena sudah bercerita.

- Tulisan ini berasal dari pengalaman dan opini pribadi setelah berhadapan dengan berbagai orang sebagai pendengar dan seseorang yang "tidak bisa bercerita".


- 26 Maret 2022